Jumat, 23 September 2011 - 0 komentar

Resensi Film Hachiko








Film "Hachiko: A Dog’s Story" bercerita tentang seekor anjing yang sangat setia pada tuannya, melebihi batas kesetiaan anjing pada rata-rata.

Cerita ini bermula ketika Profesor Parker Wilson (Richard Gere) menemukan seekor anjing kecil di Stasiun Kereta Api Bedridge, Wonsocked, Amerika Serikat, tempat ia biasa pergi bekerja dan pulang dari kerja. Anjing berjenis akita itu kemudian diajaknya pulang ke rumah dan diberi nama Hachiko.

Parker dan istrinya Cate (Joan Allen) merawat anjing itu hingga Hachiko bertumbuh besar dan tiada tiada hari yang dilewatkan Parker tanpa bermain dengan Hachiko.

Suatu hari, ketika Hachiko sudah beranjak dewasa, tanpa disangka ia mengikuti Parker ke stasiun saat Parker berangkat kerja. Parker terpaksa keluar dari kereta untuk memulangkan Hachico ke rumah.

Namun, ternyata Hachico menjemputnya di stasiun pada pukul 17.00. Sejak saat itu Parker membiarkan Hachico mengantar-jemputnya di stasiun.

Para pemilik kios, pedagang, dan pejalan kaki, serta "commuter" (orang yang bekerja secara "nglaju") tercengang-cengang dengan kelakuan Hachiko yang tidak seperti anjing pada umumnya.

Semua orang orang di sekitar Stasiun Bedridge menyayangi Hachiko dan selalu menyapa anjing itu layaknya sebagai manusia.

Sampai pada satu hari, Hachiko tak menemukan kedatangan tuannya di stasiun pada pukul 17.00.

Parker Wilson ternyata meninggal karena serangan jantung ketika ia tengah mengajar, sementara Hachiko sepertinya tak pernah mengerti perihal meninggalnya Parker.

Setelah kematian Parker, Cate menjual rumahnya dan meninggalkan Bedridge. Sementara Hachiko dipelihara oleh anak perempuan Parker, Andy Wilson (Sarah Roemer).

Berulang kali Hachiko kabur dari rumah Andy untuk pergi ke stasiun, berharap ia akan menemukan tuannya kembali.

Andy selalu menjemput Hachiko di stasiun hingga pada akhirnya Andy merelakan Hachiko pergi. Hachiko tinggal di stasiun dan pada pukul 17.00, ia akan duduk di bundaran di depan stasiun, menanti kedatangan tuannya.

Keunikan tingkah laku Hachiko itu menarik perhatian orang-orang di sekitar situ, bahkan tulisan mengenainya dimuat di koran-koran sehingga kisah anjing ini menjadi legenda. Sehingga orang-orang memberi makan Hachiko secara bergantian.

Kesetiaan Hachiko bertahan hingga tahun kesepuluh meninggalnya Parker. Sampai akhirnya pada musim dingin tahun ke sepuluh, Hachiko meninggal di bundaran stasiun pada tengah malam.

Pembuatan film ini diinspirasi dari kisah nyata seekor anjing bernama Hachiko yang hidup dalam rentang waktup tahun 1923-1935 di Jepang.

Kisah yang disajikan dalam Hachiko: A Dog’s Story persis sama dengan kisah aslinya. Di Jepang, sebuah monumen berupa patung untuk mengenang kesetiaan Hachiko didirikan di depan Stasiun Shibuya.

Seperti film tentang kesetiaan anjing lainnya, sebut saja "Lassie" (2005) dan "Marley and Me" (2009), film ini menyentuh sisi halus perasaan manusia. Bahkan bukan penggemar anjing pun yang menonton film ini bisa meneteskan air mata.

Kekurangan dalam film bergenre drama keluarga ini adalah banyaknya "scene" yang diulang dan adegan yang hampir mirip satu sama lain.

Singkatnya jalan cerita namun berdurasi 90 menit membuat film ini cenderung membosankan pada pertengahan cerita. Namun, emosi sedih penonton mulai meningkat ketika mendekati akhir cerita. Sutradara Lasse Hallstrom mengemas cerita ini dengan apik, dan alur yang cukup lambat.

Kerja keras tim pelatih anjing pemeran Hachiko tergolong sukses sebab anjing tersebut seolah bisa menunjukkan emosi dan ekspresinya yang memesona penonton.


Seorang profesor perguruan tinggi (Richard Gere) memungut seekor anjing yang ditinggalkan dan akhirnya mereka membentuk sebuah ikatan tak terpisahkan. Si anjing tiba di stasuin kereta api menjemput tuannya pada waktu yang sama setiap harinya. Setelah profesor meninggal ditempatnya mengajar, si anjing tetap setia menunggu tuannya di stasiun tersebut selama hampir satu dekade

Jenis Film :

Drama - Semua Umur (general)

Produser :

Richard Gere, Bill Johnson, Vicki Shigekuni Wong

Produksi :

Inferno Production

Durasi :

104

Cast & Crew

Pemain :

Richard Gere

Joan Allen

Sarah Roemer

Erick Avari

Jason Alexander

Sutradara :

Lasse Hallstrom

Penulis :

Stephen P. Lindsay

sumber : http://gosipboo.blogspot.com/2010/03/hachiko-resensi-film-hachiko-dogs-story.html
- 0 komentar

Resep masakan cumi cabai cincang



  • 2 sdm minyak untuk menumis
  • 400gr cumi-cumi tanpa kepala, kupas kulitnya dan kerat-kerat
  • 3 siung bawang putih, memarkan, cincang halus
  • Bumbu, aduk rata :
  • 3 sdm minyak cabai
  • 1/2 sdm gula pasir
  • 1 sdm kecap asin
  • 1/2 sdm minyak wijen
  • 1/4 sdt garam, jika perlu
  • 1 1/2 sdt Szechuan pepper bubuk, siap pakai, dapat dibeli di Supermarket terdekat
Taburan :
  • 1 1/2 sdm cabai serpih, siap pakai, dapat dibeli di Supermarket terdekat
  • 2 sdm daun ketumbar, cincang kasar
  • 1 sdm biji wijen putih, sangrai
Cara Memasak :
  • Panaskan wajan (sebaiknya wajan teflon, agar cumi tidak lengket), tuangi minyak biarkan hingga agak berasap,
  • kecilkan api, masukan cumi-cumi, aduk-aduk hingga cumi berubah warna dan menggulung, angkat tiriskan dan sisihkan
  • Bawang-bawang, jahe dan daun bawang  ditumis dengan minyak bekas menggoreng cumi, hingga harum
  • masukkan cumi goreng dan bumbu, aduk cepat hingga bumbu rata
  • angkat dan taburi dengan bahan taburan
Untuk 6 porsi

kalori perporsi : 108

sumber : www.resepsedap.com
- 0 komentar

Sejarah Huruf Alphabet

Istilah alphabet sebetulnya berasal dari bahasa Semit. Istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu aleph yang berarti 'lembu jantan' dan kata beth yang berarti 'rumah'. Konotasi pictografis dari pengertian kedua kata ini menjadi sebutan untuk menunjukkan huruf pertama a (aleph) dan b (beth) dalam urutan huruf-huruf semit (Mario Pei,1971:176). Ini bukan berarti bahwa tulisan tersebut memakai sistem pictografis-ideografis, akan tetapi malah sebaliknya.

Orang-Orang Semit mengambil tanda gambar lembu (kepala lembu) dari huruf Hierogliph Mesir tanpa memperdulikan pengertian lembu itu dalam bahasa Mesir sendiri, sedangkan menurut bahasa Semit, lembu itu disebut aleph. Demikian juga dengan tanda gambar rumah yang mereka sebut beth. Kemudian dengan mempergunakan prinsip akroponi, tanda gambar kepala lembu, oleh masyarakat Semit dijadikan tanda untuk bunyi a dan tanda gambar rumah untuk bunyi b. Semua huruf pada alphebt Semit mempunyai konotasi seperti pictografis itu.

Daerah yang Mula-Mula Menggunakan Sistem Alphabet.

Bangsa Semit sebagai yang pertama menggunakan sistem alphabet atau abjad, agaknya sudah disepakati oleh para sarjana. Namun, daerah mana dari daerah-daerah yang didiami oleh suku bangsa Semit yang lebih dahulu menggunakannya, masih saja terdapat perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka. Perbedaan pendapat ini makin terlihat setelah ditemukan beberapa bukti tertulis di kawasan Sarabit al-Khadim, yaitu suatu daerah yang terletak antara Fustat dan Adhruh, (bahagian timur Qulzum sekarang).


Inskripsi Sarabit al-Khadim ini oleh kalangan ahli, disimpulkan sebagai inskripsi tertua yang menggunakan sistem alphabeth (abjad). Diperkirakan bahwa inskripsi ini telah ditulis sekitar tahun 1850 sM.(Shiddiqi,1983) oleh orang-orang Sinai yang bekerja di tambang-tambang batu permata pyrus.

Penemuan inskripsi ini tentunya adalah acuan akhir yang menolak asumsi yang selama ini telah dikemukakan oleh para ahli bahwa orang-orang Phoenicialah yang pertama kali mentransfer Hierogliph menjadi tulisan alphebetis. Inskripsi Sarabit al-Khadim ternyata lebih tua beberapa abad dibanding dengan inskripsi Ahiram Yubail yang ditemukan oleh Monte di daerah Gebal purba (Byblos) yang merupakan bukti tertulis pemakaian pertama sistem alphabet oleh orang-orang Phoenicia. Dengan penemuan baru ini para ahli akhirnya dapat meyakini dengan tepat "jembatan" yang menghubungkan antara Hierogliph Mesir dengan alphabet Phoenicia. Karena selama ini mereka diragukan oleh perbedaan yang terlalu besar antara bentuk tulisan Mesir itu dengan bentuk tulisan yang digunakan oleh orang-orang Phoenicia, sehingga sangat sulit memastikan bahwa orang-orang Phoenicia yang pertama kali menggubah huruf-huruf Mesir ke dalam sistem alphabet.

Kenyataan bahwa Sinai yang pertama kali menggunakan alphabet dalam sistem penulisan mereka diperkuat pula oleh letak geografis daerah ini, yang ternyata lebih dekat dengan Mesir serta bentuk tulisan yang tidak terlalu menyolok perbedaannya.

Wilayah Perkembangan Sistem Alphabet

Sistem alphabet Sinai pada waktu kemudian berkembang ke beberapa wilayah, diantaranya ke Phoenicia. Oleh orang-orang Phoenicia, sistem penulisan Sinai ini dikembangkan sedemikian rupa. Beberapa karakter huruf disempurnakan serta disusun atas dasar dasar bunyi yang dilambangkan. Karena itu asumsi bahwa orang-orang Phoenicia yang pertama menggunakan sistem alphabet dianggap beralasan sebelum ditemukannya bukti tertulis di wilayah Sinai (inskripsi Sarabit al-Khadim seperti telah dikemukakan terdahulu. Namun, peranan orang-orang Phoenicia dalam menjembatani pengembangan alphabet ke beberapa kawasan Eropa memang sukar untuk dibantah.

1. Jazirah Arab Utara, Asia Kecil dan Eropa

Dalam perkembangannya ke utara, alphabet Sinai memperoleh kemajuan yang sangat pesat. Alphabet ini akhirnya, selian melahirkan alphabet Phoenicia, juga telah menurunkan tulisan Ibrani dan Aramia. Dari ketiga rumpun tulisan yang biasa disebut dengan Tulisan Semit Utara ini berkembang secara lebih luas lagi dan melahirkan tulisan-tulisan besar yang digunakan hingga saat ini.

Tulisan Phoenicia dibawa ke Yunani oleh Cadmus, dan dari sini berkembang menjadi tulisan Etroska yang merupakan cikal bakal pertumbuhan tulisan Romawi Barat yang dipakai di bahagian terbesar Eropa pada saat itu. Pengembangan lain dari tulisan Yunani telah pula dilakukan oleh salah seorang uskup Konstantinopel, Cyrillius dan Methodus. Tulisan ini mendapatkan perkembangan seiring dengan perkembangan agama Kristen di Slavia, Rusia, Ukeraina, Serbia, dan Bulgaria. Diketahui bahwa tulisan yang berkembang di Slavia ini tidak semata-mata berasal dari Yunani, akan tetapi juga memasukkan unsur-unsur tulisan Ibrani. Hal ini disebabkan oleh adanya bunyi-bunyi Slavia yang tidak terdapat dalam bahasa Yunani (Mario Pei,1971:81).

Dari rumpun Aramia (Aramaic) telah melahirkan tulisan Syryani, Nabthi, Tadmury (Palmyra) dan tulisan Pahlavi yang merupakan tulisan asli bangsa Persia. Di bahagian lain alphabet Sinai telah pula menurunkan tulisan Devanagari kuno di India. Kita telah mengetahui bahwa banyak sekali tulisan yang terdapat di kawasan Asia selatan dan tenggara berasal dari tulisan Devanagari ini, karena tulisan ini berkembang seiring dengan penyebaran agama Budha. Tulisan kuno di India. Kita telah mengetahui bahwa banyak sekali tulisan yang terdapat di kawasan Asia selatan dan tenggara berasal dari tulisan Devanagari ini, karena tulisan ini berkembang seiring dengan penyebaran agama Budha. Tulisan Siryani dan Nabthy dalam perjalanannya ke bahagian selatan jazirah Arab telah bergabung dengan karakter tulisan yang berasal dari jazirah selatan ini, terutama pada masa perluasan kerajaan Anbath ke hampir seluruh jazirah Arab pada abad pertama Masehi. Penggabungan inilah yang pada akhirnya menurunkan tulisan Arab kuno hingga menjadi tulisan Arab seperti yang berkembang saat ini.

2. Jazirah Arab Selatan

Perjalanan alphabet Sinai ke bahagian selatan jazirah Arab telah mengembangkan tulisan yang terdapat di kerajaan-kerajaan Arab Selatan, seperti kerajaan Saba`, Minaiyah dan lain-lain. Hanya saja tidak diperoleh keterangan yang pasti tentang tulisan yang digunakan oleh masyarakat di kerajaan Arab selatan ini pada waktu sebelumnya. Beberapa asumsi mengatakan bahwa tulisan yang digunakan masyarakat Arab pada waktu itu berasal dari tulisan Demotic (tulisan rakyat Mesir kuno). Setelah masuknya alphabet Sinai ke wilayah ini, barulah dikenal satu jenis tulisan yang telah menggunakan sistem alphabet, dan banyak persamaan bentuk dan karakter hurufnya dengan alphabet Sinai, sebagaimana dapat diperhatikan pada tabel terdahulu. Tulisan Arab selatan ini kemudian dikenal dengan Musnad.

Bila diperhatikan lebih jauh bentuk dan karakter lambang huruf Musnad, maka makin kuat dugaan bahwa karakter Sinai lebih banyak mewarnai pembentukan lambang huruf-hurufnya, dibanding dengan tulisan asli masyarakat Arab selatan yang dianggap sudah ada itu. Kenyataan itu agaknya juga memperkuat dugaan bahwa setidaknya Arab selatan mendapat pengaruh dari alphabet Sinai dalam waktu yang bersamaan dengan Phoenicia. Namun sementara ahli telah berkesimpulan lain, yaitu bahwa alphabet Arab selatan merupakan perkembangan dari alphabet Phoenicia yang dibawa ke wilayah ini melalui jalur perdagangan.

Perkembangan tulisan Musnad ke utara pada akhirnya bergabung dengan tulisan-tulisan Semit utara dan melahirkan tulisan Arab kuno (Hyry). Tulisan-tulisan Arab itu, setelah agama Islam lahir, ternyata memperoleh perhatian khusus bagi penganutnya. Karena itu, tulisan ini akhirnya makin berkembang dan meluas dengan pesat bahkan melampaui batas-batas wilayah yang menggunakan bahasa Arab. Bersama Al-Qur`an, tulisan Arab telah meluas ke berbagai bangsa dan bahasa, seperti Fula, Hausa dan Swahili di Afrika, Melayu, Sunda dan Jawa di Indonesia, bangsa Moro di Phillipina, Urdu dan Punjabi di India, Persia di Iran dan pelbagai bahasa Turki di Uni Sovyet (Mario Pei,1971:81).

Dari Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari akar alphabet Sinai telah melahirkan dua bentuk tulisan besar yang digunakan secara luas hingga saat ini, yaitu tulisan Romawi --yang pada akhirnya dikenal dengan tulisan Latin--, dan tulisan Arab. Kedua bentuk tulisan ini, kendatipun sama-sama berasal dari rumpun yang sama, yaitu Sinai, tapi dalam perkembangannya terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipil pada karakter huruf dan cara penulisan. Dalam tulisan Romawi, lambang-lambang konsonan dan vokal memperoleh tempat yang sama pada penulisan, sementara pada tulisan Arab --seperti juga tulisan Ibrany dan Siryani (Semit utara)-- , lebih menonjolkan huruf (lambang) konsonan saja, sedangkan lambang vokalnya diserahkan sepenuhnya pada pengertian pembaca. Barulah pada perkembangan akhir (setelah Islam), lambang vokal dicantumkan pada penulisan, akan tetapi berupa tanda-tanda khusus yang ditempatkan di atas atau di bawah lambang konsonan. Perbedaan lainnya ialah bahwa tulisan Arab ditulis dari kanan ke kiri, sedangkan tulisan Romawi ditulis sebaliknya.

© Irhash A. Shamad

sumber : http://sukasejarah.org/index.php?topic=53.0
Kamis, 22 September 2011 - 0 komentar

Sepatu Putih


Cuaca di jakarta tidak dapat diprediksi, saat ramalan cuaca pada pagi hari menyebutkan hari ini dipediksi tidak terjadi hujan, tidak tahunya siangnya hujan. Kemarin pada saat saya mau berangkat kuliah pada pagi hari, cuaca pagi tidak memberikan tanda-tanda akan datangnya hujan, karena itu saya putuskan untuk menggunakan sepatu yang berwarna putih, sampai siang haripun masih panas. Dan pada saat saya pulang kuliah pada siang hari hujan turun secara tiba-tiba, padahal beberapa detik yang lalu masih panas, karena itulah sepatu putih saya yang baru dicuci kotor akibat cipratan-cipratan air di jalanan. Sempat kesal dan marah juga pada saat hujan itu turun, tapi karena saya ingat kata-kata dari ibu saya kalau hujan itu adalah salah satu berkah yang diturunkan Allah, segera saya beristighfar, karena takut kalau saya marah karena hujan turun, nanti Allah tidak menurunkan hujan lagi. Tapi salah satu hal yang menyebabkan saya kesal, karena sepatu putih sangat susah untuk dibersihkan.
Dan kali ini saya akan memberikan tips mengembalikan warna putih pada sepatu :

Alat yang diperlukan : 
-       Kain kering / tisu
-       Odol sikat gigi yang berwarna putih
Cara membersihkannya :
-       Oleskan sedikit odol ke kain
-       Gosokan pada area sepatu putih yang kotor
-       Gosok hingga bersih
-       Bila odol kurang, tambahkan lagi lalu bersihkan lagi

Note:

Jangan langsung menambahkan ke sepatu karena bahan odol yang cukup kuat ditakutkan akan merusak kulit sepatu.

Dan untuk sekedar informasi, jangan sering-sering mencuci sepatu dengan menggunakan pemutih karena dapat merusak sepatu, terlebih bila sepatu itu berbahan kanvas.

Kali ini semoga informasi yang saya berikan bermanfaat buat anda yang membaca blog ini
- 0 komentar

Tips Merawat Gitar


Belakangan ini saya sangat suka bermain gitar karena suara yang dikeluarkan sangat indah. Tetapi setelah beberapa waktu terkadang suara yang di hasilkan tidak bagus atau sumbang, karena itu saya mencoba mencari tahu. Nah, kali ini saya akan membagikan tips untuk menjaga keindahan suara gitar dan juga cara merawat gitar :

1. Milikilah case (tas gitar)
    Sangat tidak jarang bila gitar kita sering terkena benturan atau bahkan terjatuh, dengan menaruh gitar           didalam casenya setidaknya kita dapat meminimalisir akibat dari benturan-benturan yang terjadi pada gitar kita, case juga berguna untuk melindungi gitar dari kotoran dan debu yang bisa menempel di body gitar.

2. Ganti senar dengan yang baru
    Setidaknya seminggu sekali kita mengganti senar gitar dengan yang baru, karena tanpa disadari saat kita bermain gitar kita mengeluarkan keringat dari tangan kita karena disebabkan oleh kerja otak dan gerak tangan yang memerlukan energi. Bila dibiarkan terus keringat tadi akan membuat senar berkarat dan menyebabkan pengikisan pada fret gitar sehingga suara gitar terdengar tidak enak atau sumbang.

3. Kendorkan senar gitar
    Bila dalam waktu yang cukup lama gitar anda tidak dimainkan, kendorkanlah senarnya karena senar yang tegang dapat membengkokkan neck gitar anda.

4. Letakkan yang benar
    Bila sedang tidak dimainkan taruh gitar dengan posisi telentang, bila kita menaruhnya disandarkan di dinding, itu juga dapat membengkokkan neck gitar.

5. Bersihkan gitar
    Jika body gitar sudah banyak debu, lap dengan kain /kaos sehingga gitar terlihat lebih terawat dan bersih. Jangan lupa bila anda ingin mengganti senar gitar, gantilah sekaligus semua senarnya (1 set) agar harmonisasi suara senar seimbang, karena suara senar yang baru dan yang lama bisa sangat berbeda dan inilah yang menyebabkan ketidakharmonisan pada saat anda menstem gitar.

Nah, sekian informasi yang bisa saya berikan. Semoga bisa berguna bagi anda-anda yang membaca blog ini.